Tugas 5 - Fintech Syariah dan Fintech Konvensional


I.                   PERBEDAAN SECARA LENGKAP FINTECH SYARIAH DENGAN FINTECH KONVENSIONAL
Fintech merupakan inovasi dalam bidang jasa keuangan dengan mengubah transaksi yang tadinya menggunakan uang kertas menjadi digital agar lebih efisien. Secara umum, fintech yang sering kali kita gunakan tergolong dalam fintech konvensial. Namun, selain fintech konvensial ternyata di Indonesia juga terdapat fintech syariah. Lantas apa perbedaan fintech syariah dan fintech konvensional?
Secara umum dari segi fungsi, fintech syariah dengan fintech konvensional tidak ada bedanya. Sebab, kedua jenis tersebut sama-sama ingin memberikan layanan dalam bidang keuangan. Perbedaan dari keduanya hanyalah akad pembiayaan saja dimana pada fintech syariah mengikuti aturan-aturan dari syariat islam. Ada tiga prinsip syariah yang harus dimiliki fintech ini yaitu tidak boleh maisir (bertaruh), gharar (ketidakpastian) dan riba (jumlah bunga melewati ketetapan). Walaupun menggunakan dasar syariah, rujukan dasar juga telah dibuat oleh Dewan Syariah Nasional terkait dengan keberadaan financial technology syariah ini. Dasarnya adalah MUI No.67/DSN-MUI/III/2008 yang mengatur tentang ketetapan apa saja yang harus diikuti lembaga teknologi keuangan terbaru di Indonesia tersebut. Terhitung hingga September 2018, baru ada 4 perusahaan teknologi keuangan syariah yang diresmikan oleh OJK.
Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara fintech syariah dan konvensional :
Suku Bunga
Dalam pembiayaan konvensional, kredit yang diberikan kepada konsumen dibuat sebagai akad pinjaman sehingga nasabah nantinya memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut beserta bunga yang ditentukan oleh peminjam (fintech konvensional), tergantung pada besarnya pinjaman yang diambil.
Hal ini yang akan sedikit berbeda pada pembiayaan keuangan syariah, dimana bunga merupakan hal yang tidak diperbolehkan karena dalam bunga terdapat unsur riba. Dalam pembiayaan syariah, tidak akan menjumpai kredit yang diberikan akad sebagai pinjaman melainkan dengan akad murabahah, ijarah wa iqtina, serta musyarakah mutanaqishah.
Masing-masing akad tersebut pastinya memiliki tata cara pengaturan yang berbeda. Akad murabahah bisa diartikan sebagai akad jual beli penyelenggara atau Fintech akan bertindak sebagai pembeli atas benda ataupun produk yang diinginkan nasabah.
Kemudian peminjam akan menjual produk tersebut kepada nasabah dengan margin tertentu. Margin tersebut akan menjadi keuntungan dan bukan sebagai bunga sebagaimana pada pembiayaan keuangan konvensional.
Sedangkan pada akad ijarah wa iqtina merupakan akad sewa menyewa. Artinya Fintech  bertindak untuk membeli benda yang diinginkan nasabah, selanjutnya Fintech menyewakan benda tersebut kepada nasabah dalam kurun waktu tertentu.
Nantinya nasabah bisa membeli benda tersebut sehingga berganti kepemilikan. Sementara musyarakah mutanaqishah, baik Fintech ataupun nasabah bersama-sama menaruh modal untuk sesuatu hal yang nantinya nasabah bisa membeli bagian dari Fintech untuk memiliki benda tersebut sepenuhnya. Dengan melihat beberapa akad dalam pembiyaan syariah, tidak menggunakan akad pinjaman serta tidak adanya bunga.
Resiko dan Cicilan
Ketika nasabah mengajukan pinjaman secara konvensional, nasabah akan menanggung sepenuhnya resiko ketika nasabah tidak memiliki kemampuan untuk membayar cicilannya. Hal ini berbeda dengan sistem pembiayaan dengan akad syariah kedua belah pihak baik Fintech ataupun nasabah akan menanggung resiko tersebut.
Ketersediaan Pinjaman
Dalam proses pengajuan pinjaman bila dilihat dari aspek dokumen yang dibutuhkan, baik dengan sistem konvensional ataupun syariah. Keduanya membutuhkan dokumen seperti fotokopi KTP dan bukti penghasilan. Besar dana pinjaman yang tersedia keduanya pun bervariasi yaitu sekitar Rp5 juta hingga Rp250 juta.
Namun, ada sedikit perbedaan antara pembiayaan syariah dan konvensional dalam hal menyediakan dana pinjaman. Pada pembiayaan syariah menggunakan penawaran produk untuk keperluan tertentu. Dalam hal ini tidak ada dalam pembiayaan keuangan konvensional seperti untuk pendidikan, haji dan umroh, ataupun lainnya.
Meskipun tata cara pembiayaan konvensional dan syariah secara matematis mungkin terlihat mirip, namun secara prinsipil keduanya memiliki perbedaan yang sangat mencolok.

II.                TANTANGAN FINTECH SYARIAH DI INDONESIA

Fintech merupakan sistem pembiayaan yang termasuk baru di Indonesia. Meskipun sudah banyak startup fintech, namun tidak semua terdaftar di OJK. Permohonan perizinan juga belum matang sehingga memerlukan banyak waktu untuk mengantongi izin. Tantangan fintech syariah tidak hanya datang dari peraturan pemerintah saja, namun ada banyak faktor, diantaranya adalah:

1.      Literasi Keuangan Masyarakat Indonesia Rendah
Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan OJK, Horas V. M Tarihoran mengatakan bahwa literasi keuangan penting dilakukan karena indeks literasi dan inklusi keuangan di Indonesia masih relatif rendah. Berdasarkan Survei Nasional Literasi Keuangan pada tahun 2016, literasi keuangan Indonesia baru mencapai 29,7 persen, sementara inklusi keuangan sebesar 67.8 persen.
Menjadi cakap keuangan adalah hal penting, karena akan melindungi masyarakat itu sendiri dari transaksi-transaksi palsu yang merugikan. Ada dua hal yang perlu dilakukan untuk menjadi cakap keuangan, yaitu meningkatkan keterampilan dan keyakinan masyarakat tentang layanan keuangan dan meningkatkan infrastruktur. Literasi keuangan yang tinggi akan menciptakan kesejahteraan keuangan yang berkelanjutan.

2.      Syarat dan Infrastruktur yang Kurang Menunjang
Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia, Ronald Wijaya mengatakan bahwa salah satu hambatan yang dihadapi oleh fintech syariah adalah keharusan memiliki Dewan Pengawas Syariah atau DPS di masing-masing perusahaan. Keharusan memiliki dewan pengawas memberatkan beberapa pihak yang ingin mendirikan fintech syariah karena membutuhkan biaya yang besar. Sementara startup pada umumnya belum memiliki modal besar untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Ronald mendorong pemerintah untuk memfasilitasi perkembangan fintech di Indonesia terutama yang berbasis syariah. Ia menyarankan sebuah alternatif seperti satu orang dewan pengawas untuk beberapa fintech syariah yang belum terdaftar. Hal ini akan membantu mereka mendapat infrastruktur yang sesuai dengan regulasi OJK. hambatan yang dirasakan oleh Ronald juga menyangkut soal perizinan yang lama, dan literasi masyarakat tentang fintech syariah. Sangat disayangkan karena Indonesia memiliki jumlah penduduk Muslim yang tinggi.

3.      Indonesia Perlu Kebijakan yang Matang
Tantangan fintech syariah selanjutnya adalah tentang kebijakan yang belum mencakup keamanan nasabah. Layanan jasa keuangan mampu meningkatkan kesejahteraan keuangan masyarakat jika dikelola dengan baik. Pengelolaan yang baik tentu memerlukan kebijakan yang matang. Justru karena layanan Peer-to-Peer Lending memiliki potensi yang besar di Indonesia, sangat diperlukan adanya peran regulator yang sehat. Kebijakan yang dimaksud adalah hal-hal yang menyangkut syarat pendirian dan operasi fintech, inovasi layanan yang aman bagi nasabah, serta kompetisi antar-fintech yang sehat.
Kebijakan yang matang diperlukan, juga karena penyelenggara layanan keuangan fintech memerlukan keterampilan dan kapasitas dalam mengurangi risiko untuk kepentingan nasabah. Penyelenggara fintech juga harus memastikan keamanan dana publik, keamanan data publik, serta mampu mengatur keuangan masyarakat dengan memberikan bunga yang wajar. Meskipun terhitung baru, pemerintah optimis dengan pertumbuhan fintech-fintech di Indonesia akan memberikan kemakmuran dalam hal keuangan masyarakat.

III.             PERAN FINTECH SYARIAH BAGI UMKM

Peran fintech bagi UMKM secara umum adalah memberikan pinjaman modal. Beberapa aspek yang bisa diusahakan oleh fintech untuk UMKM adalah layanan pembayaran digital dan pengaturan keuangan. Peran fintech akan semakin berkembang seiring dengan terjawabnya tantangan fintech syariah di Indonesia. Berikut adalah peran fintech bagi UMKM:


  • Pinjaman Modal yang Relatif Muda => Proses peminjaman modal oleh fintech lebih mudah daripada pengajuan pinjaman modal ke lembaga keuangan konvensional. Pasalnya, fintech hanya perlu melengkapi beberapa dokumen saja dan waktu pencairan yang lebih cepat dari lembaga konvensional. Namun di beberapa lembaga konvensional saat ini sudah tersedia layana secara online yang mempercepat proses peminjaman modal.

  • Layanan Pembayaran Digital => Proses pembayaran akan lebih mudah dan cepat dengan layanan pembayaran digital. Tanpa harus repot menarik uang di ATM, layanan pembayaran digital seperti DANA dengan tagline Pembayaran dalam Genggaman, mempermudah konsumen membayar produk yang dibeli atau jasa yang dipakai.

  • Layanan Pengaturan Keuangan => Dari kedua peran fintech yang ditawarkan, layanan pengaturan keuangan adalah yang paling penting. Layanan pengaturan keuangan yang ditawarkan seperti pencatatan pengeluaran, pemantauan kinerja investasi, serta konsultasi keuangan gratis. Untuk UMKM yang baru dirintis, layanan ini jelas membantu untuk pengeluaran dan pemasukan keuangan kedepannya.


Sumber :

https://selular.id/2018/02/ini-perbedaan-fintech-syariah-dan-konvensional/

https://sis.binus.ac.id/2019/09/26/mengenal-perbedaan-fintech-syariah-dan-fintech-konvensional/

https://www.domainesia.com/berita/tantangan-fintech-syariah-di-indonesia/

Komentar